Pada 16 Oktober 2010, hari sabtu yang lalu telah diadakan majlis haul Imam Habib Abdullah al-Haddad bertempat di Masjid Shah Alam. Majlis yang dihadiri oleh ribuan ahli tarekat dan peminat tasawuf itu telah menyaksikan kehadiran tokoh-tokoh tarekat sufi dari dalam dan luar negara. Antara tokoh besar yang hadir pada majlis tersebut ialah Habib Umar dari Yaman, Syeikh Syed Ahmad Semait, mufti Singapura dan beberapa tokoh dari Indonesia. Majlis yang dimulai selepas asar itu dimulai dengan qasidah-qasidah dan diselang seli dengan tazkirah. Selepas maghrib bacaan ratib al-Haddad dikumandangkan dan diakhiri dengan ucapan perdana oleh Habib Umar. Sepanjang majlis diadakan, masjid Syah Alam bagaikan berpesta. Suasana nyaring jamaah berzikir dan beratib menjadikan pusat bandar Syah Alam bergema. Bagi yang hadir, malam itu sangat indah ditambah dengan tausiah dan doa Habib Umar di penghujung majlis yang sungguh sangat mengesankan.
Di bawah saya catatkan sedikit kisah hidup Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad yang saya nukilkan daripada buku cenderamata yang diedarkan pada malam itu. Semoga pembaca mendapat menfaat daripadanya:
SEKELUMIT RIWAYAT HIDUP HABIB ABDULLAH AL-HADDAD
Al-Allamah Al-Imam As-Sayyid Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad Al-Alawi Al-Husaini (atau yang lebih akrab dan lebih popular dikenali sebagai Habib Abdullah Al-Haddad) adalah seorang ahli dakwah, pengarang, sufi, mursyid dan imam zamannya yang selalu berjuang memberikan bimbingan keagamaan dengan lidah dan penanya, sehingga menjadi pemimpin dan tempat rujukan (marja') bagi masyarakat Muslim dalam menuntut ilmu pengetahuan keagamaan.
Beliau dilahirkan di Subair, sebuah desa kecil di negeri Hadramaut (bahagian selatan Yaman) pada malam Khamis 5 Safar 1044 H dan dibesarkan di kota Tarim, yang dikenal pada masa itu hingga sekarang sebagai salah satu pusat intelektual "kaum Ba Alawi"; sebutan bagi keturunan Al-Husain bin Ali r.a., cucu Rasullalah s.a.w. - (dari pasangan suami isteri Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Azhra’ Binti Muhammad s.a.w.). Leluhur kaum Ba Alawi yang pertama kali berhijrah pada tahun 317 H. dari Iraq ke Hadramaut adalah al-Imam Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Jaafar as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain Al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (radhiallahu anhum).
Habib Abdullah Al-Haddad dibesarkan dibawah pengawasan ketat ayahandanya, Sayyid Alwi Bin Muhammad Al-Haddad, lebih-lebih lagi setelah berusia empat tahun, kedua matanya menjadi buta akibat penyakit cacar yang menimpanya. Berkat perhatian khusus dan kasih sayang yang dicurahkan ayahandanya, disamping bakat dan kecerdasan serta kecemerlangan otaknya yang melampaui rata-rata anak-anak yang sebaya dengannya, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang dikagumi oleh setiap orang yang mengenalnya. Allah s.w.t. telah menggantikan penglihatan zahiriahnya dengan penglihatan batiniah disamping kemampuan menghafal yang sangat kuat. Pada usianya yang sangat muda, ia berhasil menghafal seluruh Al-Quran Al-Karim. Juga mempelajari dan menguasai buku karangan Imam Al-Ghazali r.a. yang memang sangat digemari di kalangan masyarakat di sana. Pengaruh dari buku-buku inilah yang membawanya ke lingkungan hidup yang didominasi prinsip-prinsip tasawwuf yang kuat.
Kecenderungan seperti ini pada mulanya tidak berkenan dihati ayahnya, yang segera mengarahkannya agar mempelajari 'ilmu-ilmu syariat' sebelum apa yang digelar kalangan sufi sebagai 'ilmu-ilmu hakikat'. Maka mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu tafsir, hadis, fiqih, sejarah dan sebagainya dibawah bimbingan sejumlah guru-guru alimin di zamannya; yang menurut pengakuannya sendiri berjumlah tidak kurang dari seratus ulama'.
Pada masa mudanya itu, seperti diceritakan orang-orang yang mengenalnya, ia lebih cenderung menjauhkan diri dari cara hidup para remaja seusianya. Pada waktu-waktu tertentu, ia sering menyendiri di tempat-tempat sunyi, di lembah-lembah dan bukit-bukit sekitar kota Tarim, untuk bertafakur dan beribadat. Walaupun kebiasaanya itu tidak mengurangi ketekunannya dalam menuntut ilmu, dari satu masjid ke masjid lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Mendengarkan dengan saksama dan menimba ilmu dari sejumlah guru yang masing-masing memiliki kepakaran di bidangnya. Di sela-sela itu, tak kurang pula ketekunannya dalam beribadat. Setiap hari, selepas mengikuti pelajaran, ia bersolat sunnah di masjid tak kurang dari seratus rakaat seharinya.
Adalah pemandangan yang biasa bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antara Tarim dan Seiwun menyaksikan seorang pemuda buta berjalan sendirian di malam-malam yang sepi, antara lain untuk berziarah ke makam al-Imam Ahmad Al-Muhajir di desa Husaisah. Selesai berziarah, ia menimba air untuk mengisi kolam-kolam di sebuah masjid dekat dengan makam itu. Setelah itu, ia pulang ke Tarim dengan hati yang puas dan jiwa yang telah dipenuhi bekal ruhani.
Dalam pada itu, ia tak pernah beristirehat dalam bersuluk demi mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Suluk itu sendiri adalah, seperti ditulisnya kemudian sebagai jawapan atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, "...perjalanan hati menuju pelurusan dan pengamalan akhlak keimanan, serta pentahkikan peringkat-peringkat keyakinan. Perjalanan hati itu haruslah dengan mendaki dari satu maqam (peringkat) yang telah dicapai ke maqam yang lebih tinggi, terus-menerus tanpa henti dari awal sampai akhir. Itulah perjalanan batin di atas lintasan batin pula”
Akhirnya perjuangan tak kenal lelah yang dilakukannya selama puluhan tahun dalam menuntut ilmu dan mensucikan jiwa dari segala perilaku tercela seraya mengisinya dengan akhlak nabawiyyah telah menghantarkannya k eke puncak kesempurnaan insani. Sehingga dikatakan oleh para ulama di zamannya bahawa ia berhak disebut sebagai mujtahid mutlak dalam ilmu syariat dan al-Qutb al-Ghaus dalam ilmu hakikat.
Murid-muridnya berdatangan dari segenap pelosok, banyak pula dari luar negeri Hadramaut. Dan ketika pada tahun 1080H (yakni ketika mencapai 36 tahun) ia berangkat menuju al-Haramain untuk menunaikan ibadah haji, tidak sedikit di antara tokoh-tokoh ulama di sana yang meminta ijazah darinya (yakni pengukuhan dan izin untuk mengajarkan ilmu yang telah dikuasai seseorang) sebagai pengakuan atas kedudukan Habib Abdullah Al-Haddad yang tinggi, walaupun pada mulanya ia sendiri bermaksud memintanya dari mereka.
Demikianlah, dalam kesibukannya yang terus-menerus, Habib Abdullah Al-Haddad melewati tahun demi tahun dalam usianya yang penuh berkat dan kebaikan, jihad dan mujahadah, sampai saatnya ia memenuhi panggilan Tuhannya. Maka wafatlah beliau dengan tenang pada malam Selasa 7 Zulkaedah 1132H pada usia 88 tahun; dan dimakamkan di Zanbal, tempat pemakaman keluarga dan para leluhurnya, di pinggiran kota Tarim.
Semoga Allah s.w.t. melipatgandakan pahala baginya, demikian pula atas kita semua bersama-sama. Amin, ya Rabbal-'Alamin!
No comments:
Post a Comment